NELLA PUSPITA DWI.R
12.073045.2110.0057
PENGERTIAN DAN ISTILAH KEPROTOKOLAN DI INDONESIA
Keprotokolan di Indonesia
Keprotokolan adalah norma-norma atau aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang dianut atau diyakini dalam kehidupan bernegara, berbangsa, berpemerintahan dan bermasyarakat.
Metode keprotokolan di Indonesia adalah undang-undang protokol yaitu peraturan perundang-undangan dibidang “domain” keprotokolan dan yang berkaitan “related” dengan keprotokolan.
Keprotokolan adalah norma-norma atau aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan yang dianut atau diyakini dalam kehidupan bernegara, berbangsa, berpemerintahan dan bermasyarakat.
Metode keprotokolan di Indonesia adalah undang-undang protokol yaitu peraturan perundang-undangan dibidang “domain” keprotokolan dan yang berkaitan “related” dengan keprotokolan.
A. DEFINISI PROTOKOL
Menurut Encyclopedia Britannica 1962:
“Protocol is a body of ceremonial rules to be observed in all written or personal official intercourse between the heads of different states or their ministers, it lays down the styles and titles of states or their ministers and indicates the forms and customary courtesies to be observed in all international acts”
(“Protokol adalah serangkaian aturan-aturan keupacaraan dalam segala kegiatan resmi yang diatur secara tertulis maupun dipraktekan, yang meliputi bentuk-bentuk penghormatan terhadap negara, jabatan kepala negara atau jabatan menteri yang lazim dijumpai dalam seluruh kegiatan antar bangsa”)
Menurut Encyclopedia Britannica 1962:
“Protocol is a body of ceremonial rules to be observed in all written or personal official intercourse between the heads of different states or their ministers, it lays down the styles and titles of states or their ministers and indicates the forms and customary courtesies to be observed in all international acts”
(“Protokol adalah serangkaian aturan-aturan keupacaraan dalam segala kegiatan resmi yang diatur secara tertulis maupun dipraktekan, yang meliputi bentuk-bentuk penghormatan terhadap negara, jabatan kepala negara atau jabatan menteri yang lazim dijumpai dalam seluruh kegiatan antar bangsa”)
Menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia:
Peraturan upacara di istana kepala negara atau berkenaan dengan penyambutan tamu-tamu negara, dsb.
Peraturan upacara di istana kepala negara atau berkenaan dengan penyambutan tamu-tamu negara, dsb.
Menurut Pasal 1 angka (1) UU No. 9 Tahun 2010
“Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat”.
“Keprotokolan adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan aturan dalam acara kenegaraan atau acara resmi yang meliputi Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang sesuai dengan jabatan dan/atau kedudukannya dalam negara, pemerintahan, atau masyarakat”.
Peraturan Tentang (Domain) Keprotokolan
a. UU NO. 8 Tahun 1987 Tentang Protokol (Sudah Tidak Berlaku)
b. UU No. 9 Tahun 2010 Tentang Keprotokolan
c. PP No. 62 Tahun 1990 Tentang Ketentuan Keprotokolan mengenai Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata Penghormatan.
a. UU NO. 8 Tahun 1987 Tentang Protokol (Sudah Tidak Berlaku)
b. UU No. 9 Tahun 2010 Tentang Keprotokolan
c. PP No. 62 Tahun 1990 Tentang Ketentuan Keprotokolan mengenai Tata Tempat, Tata Upacara dan Tata Penghormatan.
Peraturan Terkait (Related) Keprotokolan
a. UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
b. UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Pemerintah Daerah
c. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
d. UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
e. PP No. 40 Tahun 1958 Tentang Bendera Kebangsaan RI.
f. PP No. 43 Tahun 1958 tentang penggunaan lambang negara RI.
g. PP No. 44 Tahun 1958 Tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
h. PP No. 21 Tahun 1975 Tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil
i. PP No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
j. PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
k. Perpres No. 11 Tahun 1959 Tentang Pelantikan Jabatan Negeri
l. Keppres No. 18 Tahun 1972 Tentang Penggunaan Pakaian
m. Ketentuan dari institusi/lembaga resmi
a. UU No. 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
b. UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Pemerintah Daerah
c. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
d. UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan
e. PP No. 40 Tahun 1958 Tentang Bendera Kebangsaan RI.
f. PP No. 43 Tahun 1958 tentang penggunaan lambang negara RI.
g. PP No. 44 Tahun 1958 Tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
h. PP No. 21 Tahun 1975 Tentang Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil
i. PP No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.
j. PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
k. Perpres No. 11 Tahun 1959 Tentang Pelantikan Jabatan Negeri
l. Keppres No. 18 Tahun 1972 Tentang Penggunaan Pakaian
m. Ketentuan dari institusi/lembaga resmi
B. RUANG LINGKUP PROTOKOL
a. Penghormatan kedudukan, kebangsaan dan penghormatan terhadap jenazah.
b. Perlakuan terhadap lambang kehormatan NKRI, pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu
c. Pengaturan kunjungan dan upacara dalam acara kenegaraan dan acara resmi.
a. Penghormatan kedudukan, kebangsaan dan penghormatan terhadap jenazah.
b. Perlakuan terhadap lambang kehormatan NKRI, pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu
c. Pengaturan kunjungan dan upacara dalam acara kenegaraan dan acara resmi.
C. PROTOKOLER
a. Suatu julukan yang bersifat filosofi terhadap seseorang yang menerima hak protokoler serta melaksanakan ketentuan keprotokolan sebagaimana mestinya dan
b. Julukan terhadap sesuatu kegiatan yang mengaplikasikan ketentuan-ketentuan keprotokolan yang meliputi aturan mengenai tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan
a. Suatu julukan yang bersifat filosofi terhadap seseorang yang menerima hak protokoler serta melaksanakan ketentuan keprotokolan sebagaimana mestinya dan
b. Julukan terhadap sesuatu kegiatan yang mengaplikasikan ketentuan-ketentuan keprotokolan yang meliputi aturan mengenai tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan
D. KEDUDUKAN PROTOKOLER
Menurut Pasal 1 (6) PP No. 24 Th 2004):
“Kedudukan yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan penghormatan, perlakuan dan tata tempat dalam acara resmi dan pertemuan resmi”.
Menurut Pasal 1 (6) PP No. 24 Th 2004):
“Kedudukan yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan penghormatan, perlakuan dan tata tempat dalam acara resmi dan pertemuan resmi”.
E. HAK PROTOKOLER
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003:
“Hak seseorang untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya”.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003:
“Hak seseorang untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya”.
F. KEPROTOKOLAN SARAT DENGAN PENGATURAN
a. Apa/siapa yang diatur?
• Lambang Kehormatan NKRI
• Pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat tertentu.
b. Kenapa harus diatur?
• Terhadap PN, PP, TOMATSU untuk menciptakan ketertiban, memelihara kehormatan diri dan kedudukan, efektif, efisien, dan
• Terhadap LK NKRI agar selaras dengan kedudukannya sebagai lambang kedaulatan, tanda kehormatan dan simbol-simbol negara
c. Siapa yang mengatur?
• Pemimpin dengan otoritasnya
• Pejabat protokol yang kompeten (protokol profesi dan fungsi)
d. Bagaimana cara mengaturnya?
• Tata cara (tertib, khidmat, nuansa keagungan, tindakan sesuai aturan.
• Tata krama (etiket dalam pengaturan, pelayanan, dan ungkapan).
• Aplikasi regulasi (domain dan related dengan keprotokolan).
e. Dimana harus diatur?
• Acara kenegaraan
• Acara resmi
• Pertemuan resmi
• Kunjungan (state visit, official visit dan kunjungan kerja).
• Audiensi dan penerimaan tamu
• Acara perjamuan
a. Apa/siapa yang diatur?
• Lambang Kehormatan NKRI
• Pejabat negara, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat tertentu.
b. Kenapa harus diatur?
• Terhadap PN, PP, TOMATSU untuk menciptakan ketertiban, memelihara kehormatan diri dan kedudukan, efektif, efisien, dan
• Terhadap LK NKRI agar selaras dengan kedudukannya sebagai lambang kedaulatan, tanda kehormatan dan simbol-simbol negara
c. Siapa yang mengatur?
• Pemimpin dengan otoritasnya
• Pejabat protokol yang kompeten (protokol profesi dan fungsi)
d. Bagaimana cara mengaturnya?
• Tata cara (tertib, khidmat, nuansa keagungan, tindakan sesuai aturan.
• Tata krama (etiket dalam pengaturan, pelayanan, dan ungkapan).
• Aplikasi regulasi (domain dan related dengan keprotokolan).
e. Dimana harus diatur?
• Acara kenegaraan
• Acara resmi
• Pertemuan resmi
• Kunjungan (state visit, official visit dan kunjungan kerja).
• Audiensi dan penerimaan tamu
• Acara perjamuan
BAGIAN II
SUBSTANSI UNDANG-UNDANG PROTOKOL:
(TATA TEMPAT, TATA UPACARA DAN TATA PENGHORMATAN)
SUBSTANSI UNDANG-UNDANG PROTOKOL:
(TATA TEMPAT, TATA UPACARA DAN TATA PENGHORMATAN)
A. TATA TEMPAT PRESEANCE/ORDER of PRECEDENCE TATA URUTAN
Aturan Mengenai Urutan Tempat Bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, dan Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan/Acara Resmi. (Pasal 1 ayat (7) PP No. 62 Th 1990)
1. Pedoman Umum Tata Tempat
a) Orang yang berhak mendapat tata urutan pertama/paling tinggi adalah mereka yang mempunyai urutan paling depan/mendahului.
b) Jika berjajar, yang berada di sebelah kanan dari orang yang mendapat urutan tata tempat paling utama, dianggap lebih tinggi/mendahului orang yang duduk di sebelah kirinya.
c) Jika menghadap meja, tempat utama yang menghadap ke pintu keluar dan tempat terakhir adalah tempat yang paling dekat dengan pintu keluar.
d) Pada posisi berjajar pada garis yang sama, tempat yang terhormat adalah di tempat paling tengah, dan di tempat sebelah kanan luar, atau
e) Dengan rumus posisi sebelah kanan lebih terhormat dari posisi sebelah kiri.
Aturan Mengenai Urutan Tempat Bagi Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, dan Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan/Acara Resmi. (Pasal 1 ayat (7) PP No. 62 Th 1990)
1. Pedoman Umum Tata Tempat
a) Orang yang berhak mendapat tata urutan pertama/paling tinggi adalah mereka yang mempunyai urutan paling depan/mendahului.
b) Jika berjajar, yang berada di sebelah kanan dari orang yang mendapat urutan tata tempat paling utama, dianggap lebih tinggi/mendahului orang yang duduk di sebelah kirinya.
c) Jika menghadap meja, tempat utama yang menghadap ke pintu keluar dan tempat terakhir adalah tempat yang paling dekat dengan pintu keluar.
d) Pada posisi berjajar pada garis yang sama, tempat yang terhormat adalah di tempat paling tengah, dan di tempat sebelah kanan luar, atau
e) Dengan rumus posisi sebelah kanan lebih terhormat dari posisi sebelah kiri.
2. Klasifikasi Preseance
Preseance pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu dibagi empat klasifikasi;
a) Preseance Negara/Nasional
b) Preseance Provinsi
c) Preseance Kabupaten/Kota
d) Preseance Perorangan (isteri/suami, mantan pejabat, wakil, pejabat yang mewakili, tuan rumah, Menteri Negara, Pejabat Asing).
Preseance pejabat negara, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat tertentu dibagi empat klasifikasi;
a) Preseance Negara/Nasional
b) Preseance Provinsi
c) Preseance Kabupaten/Kota
d) Preseance Perorangan (isteri/suami, mantan pejabat, wakil, pejabat yang mewakili, tuan rumah, Menteri Negara, Pejabat Asing).
3. Preseance Negara
(Pasal 9 UU No. 9 Tahun 2010)
a) Presiden Republik Indonesia;
b) Wakil Presiden Republik Indonesia;
c) mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia;
d) Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
e) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f) Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
g) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
h) Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;
i) Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
j) Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
k) perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan;
l) duta besar/Kepala Perwakilan Negara Asing dan Organisasi Internasional;
m) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
n) menteri, pejabat setingkat menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia;
o) Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia;
p) pemimpin partai politik yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
q) anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ketua Muda dan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia;
r) pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara, pemimpin lembaga negara lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, serta Wakil Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum;
s) gubernur kepala daerah;
t) pemilik tanda jasa dan tanda kehormatan tertentu;
u) pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, Wakil Menteri, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia, Wakil Gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, pejabat eselon I atau yang disetarakan;
v) bupati/walikota dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; dan
w) Pimpinan tertinggi representasi organisasi keagamaan tingkat nasional yang secara faktual diakui keberadaannya oleh Pemerintah dan masyarakat.
(Pasal 9 UU No. 9 Tahun 2010)
a) Presiden Republik Indonesia;
b) Wakil Presiden Republik Indonesia;
c) mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia;
d) Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
e) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f) Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;
g) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia;
h) Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia;
i) Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;
j) Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
k) perintis pergerakan kebangsaan/kemerdekaan;
l) duta besar/Kepala Perwakilan Negara Asing dan Organisasi Internasional;
m) Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;
n) menteri, pejabat setingkat menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, serta Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia;
o) Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia;
p) pemimpin partai politik yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
q) anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Ketua Muda dan Hakim Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan anggota Komisi Yudisial Republik Indonesia;
r) pemimpin lembaga negara yang ditetapkan sebagai pejabat negara, pemimpin lembaga negara lainnya yang ditetapkan dengan undang-undang, Deputi Gubernur Senior dan Deputi Gubernur Bank Indonesia, serta Wakil Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum;
s) gubernur kepala daerah;
t) pemilik tanda jasa dan tanda kehormatan tertentu;
u) pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, Wakil Menteri, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara Tentara Nasional Indonesia, Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia, Wakil Gubernur, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, pejabat eselon I atau yang disetarakan;
v) bupati/walikota dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota; dan
w) Pimpinan tertinggi representasi organisasi keagamaan tingkat nasional yang secara faktual diakui keberadaannya oleh Pemerintah dan masyarakat.
4. Preseance Provinsi
a) gubernur;
b) Wakil gubernur;
c) mantan gubernur dan mantan wakil gubernur;
d) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
e) kepala perwakilan konsuler negara asing di daerah;
f) Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
g) sekretaris daerah, panglima/koman dan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan tinggi di provinsi;
h) pemimpin partai politik di provinsi yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi;
i) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan anggota Majelis Rakyat Papua;
j) bupati/walikota;
k) Kepala Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah;
l) pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat provinsi;
m) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
n) wakil bupati/wakil walikota dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
o) kabupaten/kota;
p) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
q) asisten sekretaris daerah provinsi, kepala dinas tingkat provinsi, kepala kantor instansi vertikal di provinsi, kepala badan provinsi, dan pejabat eselon II; dan
r) kepala bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III.
a) gubernur;
b) Wakil gubernur;
c) mantan gubernur dan mantan wakil gubernur;
d) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
e) kepala perwakilan konsuler negara asing di daerah;
f) Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
g) sekretaris daerah, panglima/koman dan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan tinggi di provinsi;
h) pemimpin partai politik di provinsi yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi;
i) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan anggota Majelis Rakyat Papua;
j) bupati/walikota;
k) Kepala Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah;
l) pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat provinsi;
m) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
n) wakil bupati/wakil walikota dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
o) kabupaten/kota;
p) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
q) asisten sekretaris daerah provinsi, kepala dinas tingkat provinsi, kepala kantor instansi vertikal di provinsi, kepala badan provinsi, dan pejabat eselon II; dan
r) kepala bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III.
5. Preseance Kabupaten/Kota
a) bupati/walikota;
b) wakil bupati/wakil walikota;
c) mantan bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;
d) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
e) Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
f) sekretaris daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri di kabupaten/kota;
g) pemimpin partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
h) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
i) pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/kota;
j) asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;
k) kepala instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan, dan kepala kepolisian di kecamatan;
l) kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan
m) lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.
a) bupati/walikota;
b) wakil bupati/wakil walikota;
c) mantan bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;
d) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
e) Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
f) sekretaris daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri di kabupaten/kota;
g) pemimpin partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
h) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
i) pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/kota;
j) asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;
k) kepala instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan, dan kepala kepolisian di kecamatan;
l) kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan
m) lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.
6. Preseance Kepala Daerah (KDH) dan Wakil Kepala Daerah (Wk KDH)
a) Preseance KDH di daerahnya mendapat posisi utama.
b) Acara internal Pemda dan DPRD, Wakil KDH mendampingi KDH (Pasal 4 dan Pasal 7 PP No. 24 Tahun 2004).
c) Wakil KDH berhak menerima penghormatan preseance Kepala Daerah, jika Kepala Daerah tidak hadir. (Pasal 26 (1) huruf g UU No. 32 Tahun 2004).
d) Pada acara resmi (eksternal Pemda) yang diselenggarakan di ibukota provinsi/ kabupaten/kota, preseance wakil kepala daerah bersama wakil ketua dprd setelah pejabat vertikal (setelah Muspida). (Pasal 3 PP No. 24 Tahun 2004).
a) Preseance KDH di daerahnya mendapat posisi utama.
b) Acara internal Pemda dan DPRD, Wakil KDH mendampingi KDH (Pasal 4 dan Pasal 7 PP No. 24 Tahun 2004).
c) Wakil KDH berhak menerima penghormatan preseance Kepala Daerah, jika Kepala Daerah tidak hadir. (Pasal 26 (1) huruf g UU No. 32 Tahun 2004).
d) Pada acara resmi (eksternal Pemda) yang diselenggarakan di ibukota provinsi/ kabupaten/kota, preseance wakil kepala daerah bersama wakil ketua dprd setelah pejabat vertikal (setelah Muspida). (Pasal 3 PP No. 24 Tahun 2004).
7. Preseance Perorangan
Isteri/suami yang mendampingi suami/isteri sebagai pejabat negara atau pejabat pemerintah atau tomastu dalam acara kenegaraan atau acara resmi mendapat tempat sesuai dengan urutan tata tempat suami/isteri. (Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 62 Tahun 1990).
Isteri/suami yang mendampingi suami/isteri sebagai pejabat negara atau pejabat pemerintah atau tomastu dalam acara kenegaraan atau acara resmi mendapat tempat sesuai dengan urutan tata tempat suami/isteri. (Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 62 Tahun 1990).
8. Pejabat yang mewakili
Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah atau tomastu berhalangan hadir pada acara kenegaraan atau acara resmi, maka tempatnya tidak diisi oleh pejabat yang mewakili. Pejabat yang mewakili mendapat tempat sesuai dengan kedudukan sosial dan kehormatan yang diterimanya atau jabatan yang dipangkunya. (Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 62 Tahun 1990).
Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah atau tomastu berhalangan hadir pada acara kenegaraan atau acara resmi, maka tempatnya tidak diisi oleh pejabat yang mewakili. Pejabat yang mewakili mendapat tempat sesuai dengan kedudukan sosial dan kehormatan yang diterimanya atau jabatan yang dipangkunya. (Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 62 Tahun 1990).
9. Jabatan Rangkap
Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah memangku jabatan lebih dari satu yang tidak sama tingkatannya, maka baginya berlaku tata tempat yang urutannya lebih dahulu. (Pasal 12 PP No. 62 Tahun 1990).
Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah memangku jabatan lebih dari satu yang tidak sama tingkatannya, maka baginya berlaku tata tempat yang urutannya lebih dahulu. (Pasal 12 PP No. 62 Tahun 1990).
10. Mantan Pejabat
Mantan pejabat negara/pejabat pemerintah mendapat tempat setingkat lebih rendah dari pada yang masih berdinas aktif, tetapi mendapat tempat pertama dalam golongan yang setingkat lebih rendah itu. (Penjelasan Pasal 7 PP No. 62 Tahun 1990).
Mantan pejabat negara/pejabat pemerintah mendapat tempat setingkat lebih rendah dari pada yang masih berdinas aktif, tetapi mendapat tempat pertama dalam golongan yang setingkat lebih rendah itu. (Penjelasan Pasal 7 PP No. 62 Tahun 1990).
11. Tuan Rumah
Tuan rumah (daerah dan acara).
• Tuan rumah adalah gubernur atau bupati/walikota yang bersangkutan. (Penjelasan Pasal 9 PP No. 62 Tahun 1990).
• Tuan rumah mendampingi pembesar upacara. (Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1987).
• Pejabat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi atau atasan tuan rumah memperoleh tata tempat langsung lebih tinggi dari tuan rumah. (Penjelasan Pasal 13 ayat (2) PP Nomor 62 Tahun
Tuan rumah (daerah dan acara).
• Tuan rumah adalah gubernur atau bupati/walikota yang bersangkutan. (Penjelasan Pasal 9 PP No. 62 Tahun 1990).
• Tuan rumah mendampingi pembesar upacara. (Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 8 Tahun 1987).
• Pejabat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi atau atasan tuan rumah memperoleh tata tempat langsung lebih tinggi dari tuan rumah. (Penjelasan Pasal 13 ayat (2) PP Nomor 62 Tahun